Apa anggapan Anda terhadap perasaan atau emosi?
Apakah Anda melihat emosi sebagai sesuatu yang positif, netral, atau negatif? Lebih condong ke arah manakah persepsi Anda?
Ada banyak orang yang menganggap bahwa emosi itu sesuatu yang buruk. Itu sebabnya ada nasihat-nasihat semacam “jangan memutuskan dengan emosi”, atau “jangan libatkan emosi dalam pekerjaan, kita harus profesional”, atau “jangan mengikut Tuhan karena emosi, putuskan dengan sungguh-sungguh”.
Nasihat-nasihat ini, menyiratkan bahwa keterlibatan atau kemunculan emosi akan mengkorupsi pikiran kita. Emosi menodai pikiran dan membuat apa yang kita pikirkan tidak lagi murni dan sudah mengalami penurunan kualitas. Pandangan ini, sama dengan pemikiran seorang filsuf besar bernama Descartes, yang menggambarkan emosi seperti kuda liar yang harus dikekang agar tidak merusak segalanya.
Bahkan, ada yang berpendapat bahwa emosi adalah turunan dari dosa. Sehingga orang yang menyucikan dirinya dari perasaan-perasaannya, mengekang dan menaklukkannya, ia telah mengalahkan dosa.
Benarkah Emosi Seburuk Itu?
Sebelum kita menyimpulkan apakah emosi adalah sesuatu yang buruk atau tidak. Ijinkan saya memperlihatkan beberapa hal yang mungkin akan mengusik kesadaran dan persepsi kita selama ini terhadap emosi:
- TUHAN MEMILIKI EMOSI
Terlalu banyak bukti yang bertebaran di Alkitab, yang menunjukkan bahwa Tuhan jelas memiliki dan mengekspresikan emosi. Dia sedih (Kejadian 6:6), marah (Mazmur 7:11), excited (Zefanya 3:17), sayang (Mazmur 103:13), bahkan cemburu (Keluaran 20:5). Jika emosi adalah sesuatu yang buruk, bagaimana mungkin Tuhan yang sepenuh-penuhnya kebaikan, memiliki bagian buruk dalam diri-Nya? - YESUS MEMILIKI EMOSI
Yesus sebagai Tuhan yang berinkarnasi menjadi manusia, jelas juga memiliki dan merasakan emosi. Dia sedih (Yohanes 11:35), gembira (Lukas 10:21), bahkan tertekan (Matius 26:37). Yesus adalah gambaran Allah Bapa yang sejati. Sekalipun mengambil rupa sebagai manusia, tetapi dosa tidak ada di dalam Dia. Jika emosi adalah noda dosa, bagaimana mungkin Yesus memilikinya dalam diri-Nya? - PARA PAHLAWAN IMAN HIDUP DENGAN EMOSINYA
Kita bisa melihat mulai dari Abraham, Musa, Daud, Yosua, Gideon, Elia, hingga Paulus dan para rasul murid Yesus, semua hidup dalam berbagai emosi dalam diri mereka, tetapi itu tidak menghentikan mereka menjadi orang-orang yang dipakai Tuhan. Justru melalui ‘kelemahan-kelemahan emosional’ mereka, kita bisa melihat Tuhan bekerja.
Yang Buruk, Bukan Emosinya
Tuhan dan manusia, sama-sama memiliki emosi. Bahkan, manusia memiliki emosi karena diciptakan serupa dan segambar dengan Tuhan yang memiliki emosi.
Perbedaan antara Tuhan dan manusia adalah pada dosa. Dosa mengkorupsi kemampuan manusia dalam menikmati dan mengelola emosinya. Tuhan memiliki emosi, tetapi Dia tidak digerakkan oleh emosi. Tuhan digerakkan oleh jati diri-Nya sebagai Tuhan yang kasih dan adil. Manusia, karena dosa, telah mengalami banyak degradasi dan kerusakan, termasuk di dalam jiwanya. Sehingga emosi yang tadinya menjadi ekspresi kehidupan yang indah, justru malah jadi alat pendorong dosa.
Maka, di sini kita bisa melihat, bahwa memiliki emosi TIDAKLAH BURUK. Tetapi digerakkan dan dikuasai oleh emosi, itu yang berbahaya. Bukankah yang membuat kita bisa menikmati hubungan dengan Tuhan, karena adanya emosi? Bukankah hubungan dalam keluarga jadi indah karena adanya emosi? Bayangkan kalau kita semua tidak punya emosi. Hubungan seperti apa yang akan terjadi, baik dengan Tuhan maupun dengan manusia lain? Kita akan seperti berhubungan dengan komputer yang bisa menjawab tapi tak pernah bisa terkoneksi jiwanya kepada kita.
Emosi, adalah salah satu jalan kepada koneksi jiwa. Dan di dalam Tuhan, emosi itu indah. Yang buruk bukan emosi’nya, tetapi dosa yang sudah mengkorupsi jiwa kita, membuat emosi menjadi hal yang bisa merusak hidup kita.
Lalu Bagaimana?
“yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.” – Efesus 4:22-24
Jika kita terus diperbaharui di dalam pikiran dan roh, maka kita akan memiliki hikmat dan kemampuan untuk mengelola emosi-emosi kita, sehingga bukannya memberikan hal yang buruk, justru emosi yang ada dalam diri kita, bisa menjadi alat ekspresi hati Tuhan melalui hidup kita.
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,” -Filipi 2:5
Ketika kita semakin dibaharui serupa Kristus, maka pikiran dan perasaan kita akan semakin menyerupai Kristus.
Marahnya kita akan seperti marahnya Kristus, yaitu marah karena kebenaran dan keadilan, bukan karena pelampiasan dan ingin menyakiti. Sayangnya kita akan seperti sayangnya Kristus, sayang karena ingin memberi, bukan sayang untuk mendapat kembali. Gembiranya kita akan seperti gembiranya Kristus, gembira karena sukacita yang dari dalam, bukan karena hal-hal yang memuaskan nafsu belaka.
Jangan takut untuk memiliki (dan mengekspresikan) emosi. Selama kita terus hidup di dalam pembaharuan terus-menerus dalam hadira dan firman Tuhan, emosi akan menjadi hal yang indah yang Tuhan berikan bagi kita.

Josua Iwan Wahyudi
Emotional Intelligence Specialist - JIW mendalami tentang emosi sejak tahun 2008 dan mendapatkan sertifikasi sebagai Trained EQ Practitioner dari Six Seconds International. Hingga kini aktif sebagai trainer, coach, dan konselor Kecerdasan Emosi maupun kehidupan pernikahan. Sejak tahun 2006, JIW sudah menulis 46 buku sampai sekarang.