Konsumerisme, yang sering dipahami sebagai budaya atau cara hidup yang berlebihan di dalam membeli dan membelanjakan uang, telah menjadi cara hidup yang semakin menjangkiti masyarakat modern, terutama di perkotaan.
Media sosial, membuat budaya ini makin menguat. Kita melihat orang-orang yang secara sengaja memperlihatkan kepemilikannya yang berlebihan, aktif “memamerkan” gaya hidup mewahnya, dan menariknya justru menarik banyak pengikut, viewer, dan interaksi. Hal ini justru malah semakin memicu orang-orang untuk ikut menjadi konsumtif dan mempertontonkannya melalui kaun media sosialnya masing-masing.
Apa Bahaya Konsumerisme?
Seorang psikolog dari Amerika bernama David G. Myers, PhD, menulis sebuah paparan dalam jurnal American Psychologist dan mengatakan bahwa generasi dewasa muda kita di zaman sekarang, secara rata-rata, hidup jauh lebih tercukupi, lebih baik keadaannya, dan memiliki lebih banyak, jika dibandingkan dengan generasi pendahulunya. Namun, justru generasi era sekarang, lebih mudah gelisah dan terjebak dalam berbagai tekanan mental.
Myers menyatakan bahwa budaya konsumerisme yang semakin kuat, menjadi salah satu penyebabnya. Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu makin terbuka dan mudah diketahui. Orang menjadi semakin terpacu untuk berkompetisi dalam kepemilikan dan mendorong untuk menjadi lebih konsumtif.
Industri kapitalis justru memanfaatkan (dan turut membentuk) budaya konsumerisme ini. Pilihan terus ditawarkan. Inovasi kreasi barang dan jasa terus dikembangkan untuk membuat hal-hal yang tadinya bukan kebutuhan, mendadak menjadi kebutuhan penting. Industri kapitalis bahkan berhasil menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang tadinya tak ada sama sekali.
Dan kalau mau ditilik, semua kebutuhan yang dieksploitasi, mayoritas bukanlah kebutuhan fisik, melainkan kebutuhan emosional. Memberi makan gengsi, menciptakan status elit, memberikan rasa berharga, rasa kendali, dan perasaan superior.
William Wordsworth, seorang budayawan di tahun 1800an, bahkan sudah memprediksi fenomena ini sejak 200 tahun lalu dan berkata bahwa budaya “getting and spending” ini menjebak orang untuk mengejar dan mengumpulkan hal-hal yang sebenarnya hanya memberikan kebahagiaan sementara dan tanpa sadar justru menjauhkan manusia dari kesadaran untuk merawat hal-hal yang malah sebenarnya bisa memberikan kebahagiaan yang bermakna, seperti hubungan, iman, kesehatan fisik dan jiwa.
Seorang psikolog bernama Tim Kasser, Ph.D. melalui buku Psychology and Consumer Culture, meneguhkan pendapat Wordsworth. Ia menuliskan bahwa orang yang memiliki dorongan materialistik yang kuat, akan membuatnya memiliki tujuan hidup yang menyebabkan ia malah mengalami penurunan kualitas kehidupannya.
Apakah Saya Terjebak Dalam Konsumerisme?
Melalui 5 pertanyaan reflektif berikut ini, selain kita bisa seberapa jauh kita sudah menjadi konsumtif dan materialistik, kita juga bisa memahami ciri-ciri orang yang sudah terseret dalam budaya hidup konsumerisme:
- Apakah saya menjadikan benda, kepemilikan, dan cara belanja saya, sebagai alat untuk mempertahankan dan meningkatkan status sosial saya? Sehingga, saya harus selalu update dan upgrade semuanya demi status sosial tersebut?
- Apakah saya merasa insecure ketika ada orang yang memiliki benda / kepemilikan yang lebih hebat dari saya? Apakah saya merasa terpicu untuk berkompetisi dan harus memenangkan dengan cara memiliki yang lebih dari dia?
- Jika saya lihat sekeliling di rumah saya, seberapa banyak barang yang sebenarnya tidak saya butuhkan, dan bahkan sangat jarang (atau tak pernah lagi) saya pakai?
- Apakah saya memperoleh kepuasan emosional ketika membeli barang atau membelanjakan uang dalam jumlah besar? Dan apakah ketika memperlihatkan barang-barang tersebut kepada orang lain, memberikan saya kebahagiaan tersendiri?
- Apakah saya sering melakukan impulsive buying, yaitu membeli atau membelanjakan uang untuk sesuatu yang tidak ada dalam rencana, tapi murni dorongan keinginan sesaat saat melihat barang itu dan langsung membelinya saat itu?
Kesadaran Adalah Awal Perubahan
Setidaknya, dengan 5 pertanyaan tersebut, kita bisa melihat posisi kita dan memiliki kesadaran lebih terhadap derasnya budaya konsumerisme di zaman ini.
Dengan melatih kesadaran ini, kita bisa memulai perubahan di dalam cara kita menata hidup dan pola keuangan kita. Seperti yang saya sering katakan dalam berbagai kesempatan, uang itu emosional. Uang kita akan turut mengikuti gejolak jiwa kita.

Josua Iwan Wahyudi
Emotional Intelligence Specialist - JIW mendalami tentang emosi sejak tahun 2008 dan mendapatkan sertifikasi sebagai Trained EQ Practitioner dari Six Seconds International. Hingga kini aktif sebagai trainer, coach, dan konselor Kecerdasan Emosi maupun kehidupan pernikahan. Sejak tahun 2006, JIW sudah menulis 46 buku sampai sekarang.