American Psychological Association (APA), pernah menyatakan bahwa negara-negara yang semakin modern, menciptakan pola budaya kehidupan yang semakin individualis dan akibatnya, orang semakin terisolasi satu sama lain. Menurut salah satu riset APA, mereka menyatakan bahwa kondisi ini yang kemudian memunculkan fenomena loneliness, atau kehampaan jiwa yang diakibatkan oleh perasaan kesepian.
Disebut fenomena, karena tidak hanya terjadi secara per individual, melainkan sudah menjadi sebuah keadaan kebanyakan orang yang hidup dalam sebuah zaman, atau situasi yang sama.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan oleh Journal of Social and Clinical Psychology, dinyatakan bahwa kondisi ini juga disebabkan oleh kemajuan teknologi, terutama media sosial. Menarik sekaligus ironi ketika kita melihat bahwa tadinya media sosial dibuat dengan tujuan untuk menghubungkan orang melintasi tempat dan waktu.
Namun, tragisnya, justru media sosial yang kemudian membuat banyak keterhubungan jadi terputus dan orang tenggelam di dalam dunia maya sendirian, tanpa terkoneksi dengan orang lain. Sudah begitu banyak riset dan studi yang menunjukkan bahwa semakin lama seseorang menghabiskan waktu untuk media sosial, maka ia cenderung akan semakin mudah menjadi depresif.
Ketika seseorang sudah terbelenggu dalam kesuraman mental akibat terlalu lama ber’media sosial, dan dia menemukan kenyataan bahwa ia tidak memiliki hubungan yang berarti dengan orang lain, disitulah keadaan semakin buruk. Kesepian semakin menjadi-jadi.
PERAN KELUARGA
Keluarga adalah sebuah sistem sosial yang didesain oleh Tuhan, untuk menjadikan manusia sebagai manusia. Hubungan yang dekat dengan berbagai dinamika di dalam keluarga, mampu menumbuhkan dan mengeluarkan semua hal terbaik yang dimiliki oleh manusia.
Namun, kalau kita lihat kehidupan modern sekarang, kita akan menemukan bentuk dan model keluarga yang tidak seperti keluarga lagi. Kedua orang tua begitu sibuk bekerja, sehingga haus untuk memiliki “me time”nya sendiri-sendiri. Sehingga sisa waktu yang ada setelah sibuk bekerja, mereka pakai untuk diri mereka sendiri. Anak-anak dipenuhi dengan berbagai aktifitas “belajar”, agar mereka tetap sibuk dan tidak mengganggu orang tua.
Akhirnya interaksi suami dan istri, interaksi orang tua dan anak, menjadi sangat minim. Bahkan ketika berlibur bersama pun, banyak keluarga tidak benar-benar berlibur sebagai sebuah unit yang bersama-sama, melainkan sibuk mencari hiburannya masing-masing secara terpisah.
Maka, definisi “kesepian di tengah keramaian” sudah menjadi sebuah fenomena nyata yang menyebabkan kehampaan jiwa para manusia modern. Mereka semua sibuk. Bertemu banyak orang. Berlibur bersama. Melakukan berbagai aktifitas. Namun tidak pernah benar-benar memiliki hubungan yang berarti, lekat, dan memuaskan. Setidaknya dengan keluarga. Sehingga, tubuhnya dalam keramaian, namun jiwanya sendirian.
PERAN PERTEMANAN
Pertemanan adalah sebuah natur alami manusia untuk juga menjaga kesehatan jiwanya melalui hubungan-hubungan yang bermakna. Pertemanan seringkali bisa menjadi safety net, ketika keadaan keluarga proak-poranda dan tidak ideal.
Namun, kondisi kehidupan modern juga sudah menggerus pertemanan. Richard Reeves dari Brooking Institution mengemukakan hasil temuannya, bahwa di Amerika, angka orang (terutama dewasa muda) yang mengaku tidak memiliki teman dekat, telah meningkat 400% dibandingkan dengan dekade sebelumnya.
Kondisi kehidupan kerja yang semakin intens, semakin kompleksnya permasalahan hidup dan sulitnya kehidupan berkeluarga membuat orang tidak punya cukup banyak lagi waktu dan energi untuk membangun pertemanan. Akibatnya, jika keluarga dan pertemanan telah tergerus oleh modernisasi, maka muncullah individu-individu yang hebat, cerdas, pekerja keras, namun kesepian dan hampa jiwanya.
SEBUAH PERENUNGAN BERSAMA
Tujuan saya menulis artikel ini adalah untuk membangkitkan kesadaran kita bersama, ke mana arah kehidupan kita sebagai manusia modern? Adakah hal yang perlu kita ubah dengan cara hidup kita? Adakah prioritas hidup yang harus kita ganti?
Jangan-jangan wabah kekosongan jiwa ini, terjadi karena fokus tujuan hidup kita yang salah. Sumber daya kita dikerahkan untuk mengejar pencapaian, standar sukses yang semu, pengalaman kesenangan yang tak bermakna, dan paksaan doktrinasi modern mengenai bagaimana seharusnya kehidupan dibangun.
Jangan-jangan, kita memang harus mulai mencukupkan diri dengan apa yang memang sudah kita miliki, dan mulai berfokus untuk membangun waktu-waktu keterhubungan dengan keluarga, mengusahakan pertemanan yang tulus, dan menilik kerohanian kita dengan lebih sungguh-sungguh.
Mungkin, kita perlu mulai menaruh hal-hal yang menghidupkan jiwa kita, sebagai prioritas utama, sekalipun bagi budaya modern, itu semua mungkin dianggap tidak istimewa.
Segera daftarkan dirimu di event terdekat kamu!
Josua Iwan Wahyudi
Emotional Intelligence Specialist - JIW mendalami tentang emosi sejak tahun 2008 dan mendapatkan sertifikasi sebagai Trained EQ Practitioner dari Six Seconds International. Hingga kini aktif sebagai trainer, coach, dan konselor Kecerdasan Emosi maupun kehidupan pernikahan. Sejak tahun 2006, JIW sudah menulis 46 buku sampai sekarang.
