Salah satu pertanyaan dilematis yang banyak muncul ketika kita menyaksikan adanya pendeta yang bunuh diri, pemimpin gereja yang stress dan depresi, atau kita sendiri sebagai orang Kristen mengalami masalah mental, adalah “Kenapa orang Kristen masih bisa memiliki masalah mental?”
Kesalahpahaman kita di dalam memahami persoalan mental, maupun kesalahpahaman kita di dalam konsep mengikut Yesus di dunia ini, menjadi kombinasi munculnya pertanyaan tersebut. Itu sebabnya melalui artikel ini, saya ingin memberikan persepektif yang seimbang (dan biblikal), agar kita memahami sepenuhnya, seperti apa memandang pergumulan mental yang dialami oleh orang-orang Kristen
1. Kondisi Mental Seseorang, Dibentuk Dari Banyak Faktor
Salah satu yang jarang dipahami oleh kebanyakan orang adalah, kondisi mental (pikiran dan perasaan) seseorang, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkombinasi dengan kadar masing-masing yang berbeda.
Selain keputusan, kebiasaan, mindset, dan pola hidup yang kita bangun setiap hari (which is, ini hal-hal yang ada dalam kendali kita), juga ada faktor proses “early printing”, yaitu (pengalaman, informasi, ajaran, pembiasaan) apa yang diserap ketika kita masih bayi dan anak-anak.
Dan yang tak kalah penting, ada juga faktor fisik seperti kondisi syaraf otak, hormon, maupun faktor genetika yang diturunkan, yang turut menyumbang pengaruh.
Profesor Beben Benyamin, peneliti dari University of South Australian, yang berfokus pada bidang Biostatistik, Epidemiologi dan Motor Neuron Desease, seperti yang termuat dalam artikel di The Guardian, menemukan melalui riset panjangnya, bahwa faktor genetika jelas memberikan sumbangsih pada problem mental tertentu, maupun pada pola perilaku yang memicu permasalahan mental.
Faktor fisik dan genetika inilah yang paling sering luput dari pemahaman kebanyakan orang.
2. Degradasi Kualitas Hidup Akibat Dosa
Jika Anda bertanya, kenapa manusia lahir dengan “kelemahan” tertentu? Jawabnya jelas, sejak manusia jatuh dalam dosa, kualitas bumi dan manusia itu sendiri terdegradasi tidak lagi sesempurna saat pertama kali diciptakan. Salah satu dampak yang pasti adalah degradasi fisik yang bertahap menuju kepada kematian (Kejadian 3).
Jelas rancangan awal Tuhan, manusia tidak diciptakan dengan penyakit dan cacat, tetapi akibat degradasi oleh dosa, penyakit masuk dalam kehidupan manusia dan melalui genetika yang terus diturunkan, kita menemukan ada orang yang lahir dengan kelemahan tertentu di bagian tubuh / organ yang ia miliki. Termasuk, ada orang yang lahir dengan tendensi mental tertentu yang membuat ia lebih mudah mengalami problem mental tertentu.
Hanya karena Anda lahir dengan lambung yang sehat, bukan berarti orang lain memiliki lambung yang sama sehatnya dengan Anda. Hanya karena Anda lahir dengan jantung yang kuat, bukan berarti orang lain memiliki jantung yang sama kuatnya dengan Anda. Begitu pula, dalam hal mental. Hanya karena kita lahir dengan “spesifikasi” mental yang sehat dan tangguh, bukan berarti orang lain juga demikian.
Inilah yang membuat kita tidak bisa serta merta menilai kondisi mental seseorang begitu saja.
3. Menjadi Orang Kristen Tidak Meluputkan Kita Dari Problem Mental
Mungkin Anda bertanya, “Bukankah kelahiran baru di dalam Kristus, bisa menyempurnakan kita?”
Tentu saja jawabnya adalah “betul!”. Tapi kita harus ingat bahwa yang dilahirkan baru adalah manusia roh kita, sementara tubuh fisik kita masih tubuh yang terimbas dosa, menantikan digantikan oleh tubuh sempurna kelak saat Yesus datang kedua kalinya (1 Korintus 15:35-58). Itu sebabnya, bahkan Paulus yang memiliki disiplin rohani luar biasa, juga bergumul dengan tubuh manusiawinya.
Maka, selama kita hidup di dunia, tentu saja kita tidak luput dari permasalahan mental, baik yang bersifat klinis menetap, maupun yang bersifat mental habit temporer, atau kombinasi keduanya. Dan justru karena Tuhan mengetahui pergumulan inilah, maka Dia menjanjikan untuk selalu menyertai, menemani, dan tak pernah meninggalkan kita (Mazmur 23 dan Yohanes 14:18).
4. Lalu, Apa Gunanya Disiplin Rohani?
Banyak orang berpikir, bahwa orang yang rajin berdoa, kebaktian, membaca Alkitab, pasti memiliki daya tahan terhadap pergumulan mental. Apalagi ini bukan di ranah penyakit tubuh semacam kanker, autoimun, atau semacamnya. Ini di ranah mental, dan disiplin rohani seharusnya memagari mental kita dengan hadirat Tuhan, kuasa kebenaran firman-Nya, dan perlindungan Roh Kudus.
Di sinilah kita perlu mengerti bahwa tentu saja berdoa dan semua praktek disiplin kerohanian memberikan dampak kepada mental kita. Namun, ia tidak serta merta menghilangkan berbagai tendensi mental kita.
Praktek disiplin rohani MENOLONG kita untuk BERPROSES “membentuk ulang” mental kita untuk memiliki tendensi baru yang sesuai dengan firman-Nya. Tentu saja ini membutuhkan proses dan waktu yang berbeda bagi tiap orang, karena setiap orang membawa PR mental yang berbeda-beda entah dari perjalanan hidup masa lalunya, faktor personality dan genetika, maupun keputusan-keputusan buruk yang ia buat di masa lalunya.
Dalam perjalanan proses “membentuk ulang” ini pun, bagi beberapa orang ada keterbatasan fisik karena bawaan “hardware” syaraf dan hormon otaknya yang memang sudah berbeda sejak awal. Sehingga seringkali, peran psikiater untuk memberikan resep yang tepat, juga dibutuhkan di samping disiplin rohani yang dibangun.
5. Tuhan Sanggup Memberikan Mujizat, Tiada Yang Mustahil Bagi-Nya!
Tentu saja tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Dia sanggup melakukan apapun!
Tapi Dia tidak selalu melakukan apapun yang Anda inginkan.
Hanya karena Dia bisa, belum tentu Dia mau. Mengapa Tuhan tak mau menyembuhkan / memulihkan semua hal yang menurut kita buruk dan merugikan kita? Bukankah Dia sangat mengasihi kita dan menginginkan yang terbaik untuk kita?
Ini mirip seperti kasus dilematis apakah Tuhan selalu menyembuhkan semua orang yang berdoa meminta kesembuhan kepada-Nya? Beberapa orang meyakini bahwa jawabannya “Iya!”, Dia pasti menyembuhkan jika kita meminta kepada-Nya.
Tetapi, saya memiliki pandangan yang berbeda. Tuhan tidak selalu menyembuhkan yang sakit.
- Karena kehendak-Nya tidak selalu sama dengan kehendak kita (1 Yohanes 5:14). Hanya karena kehendak-Nya berbeda dengan keinginan kita, tidak berarti Tuhan memberikan yang buruk. Dia tahu yang terbaik dan selalu memberikan yang baik bagi orang-orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28)
- Karena terkadang Tuhan menggunakan kelemahan / kekurangan / hal tidak ideal yang ada pada kita, justru untuk menyatakan kekuatan dan kemuliaan-Nya melalui hidup kita. (2 Kor 12:7-9)
- Jika Tuhan selalu mengabulkan semua permintaan “mujizat” yang kita mau, kita tak akan pernah belajar mengatur hidup. Kita akan sembrono karena tahu Tuhan pasti menolong dengan ajaib, dan kita tidak menjadi anak Tuhan yang dewasa, melainkan anak kecil yang selalu meminta orang tuanya membereskan kekacauan yang ia buat.
Saya ingin mereferensikan bacaan mengenai topik “Mengapa Tuhan Tidak Menyembuhkan Semua Orang?” yang dijelaskan dengan komprehensif. Artikel ini akan berguna terutama di dalam memandang “penyakit mental” yang sifatnya klinis dan melibatkan faktor fisik seperti syaraf dan hormon, maupun kelainan struktur otak.
Memandang Seperti Tuhan Memandang
Saya tidak ingin artikel ini terlalu panjang lagi, sekalipun saya tahu masih banyak pertanyaan yang menggoda di pikiran Anda.
Tetapi tujuan utama artikel ini sederhana, marilah kita memandang pergumulan mental secara lebih menyeluruh dan seimbang. Tuhan tidak menghakimi ketika Elia depresi dan minta dicabut nyawanya, maupun ketika Yunus marah sampai rasanya ingin mati saja, atau ketika Daud meratap dalam doa-doanya karena putus asa, tertekan berat, dan hilang harapan.
Maka, ketika kita melihat saudara seiman kita yang sedang bergumul secara mental, alih-alih menuntutnya untuk memenuhi sebuah standar tertentu sebagai jalan keluar yang ditawarkan, marilah kita justru menjadi teman yang menyertai proses pergumulannya dan menguatkan dia untuk selalu berjalan bersama Tuhan dalam masa-masa perjuangannya.

Josua Iwan Wahyudi
Emotional Intelligence Specialist - JIW mendalami tentang emosi sejak tahun 2008 dan mendapatkan sertifikasi sebagai Trained EQ Practitioner dari Six Seconds International. Hingga kini aktif sebagai trainer, coach, dan konselor Kecerdasan Emosi maupun kehidupan pernikahan. Sejak tahun 2006, JIW sudah menulis 46 buku sampai sekarang.